Makalah Kelompok
Dipresentasikan dalam Forum
Seminar Kelas Mata
Kuliah
Isu-Isu
Pendidikan Kontemporer Konsentrasi PK PAI
Semester III Tahun
Akademik 2013/2014
Oleh:
1. Suparman Toaha : 80100212143
2. Suriati Dullah : 80100212144
3. Suryanagara : 80100212145
4. Sarief Taki : 80100212146
5. Wardana Razak: : 80100212147
6. Zulkarnain Mansyur :
80100212148
Dosen
Pemandu
Prof. Dr. H. Bahaking Rama,
MS.
Dr. H. Syahruddin
Usman, M.Pd.
PROGRAM
PASCASARJANA
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2013
I. PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Reformasi pendidikan melalui
pelaksanaan desentralisasi pendidikan dalam rangka otonomi daerah yang telah
berjalan beberapa waktu ini telah menentukan sosok dan kinerja sistem
pendidikan nasional di masa akan datang. Tujuan utama reformasi pendidikan
adalah membangun suatu sistem pendidikan nasional yang lebih baik, lebih
mantap, dan lebih maju dengan mengoptimalkan serta memberdayakan
potensi daerah dan faksi-faksi masyarakat lokal. Sebab pendidikan merupakan
struktur pokok yang memberikan fasilitas bagi warga masyarakat untuk bisa
menentukan barang dan jasa yang diperlukan.[1]
Bahkan secara makro, pendidikan merupakan jantung sekaligus tulang punggung
masa depan bangsa dan negara.[2]
Berdasarkan uraian di atas maka dapat
dikatakan bahwa keberhasilan suatu bangsa sangat ditentukan keberhasilan dalam
memperbaiki dan memperbarui sektor pendidikan. Dengan begitu, pendidikan
tersebut dilakukan manusia dalam rangka memperbaiki dan meningkakan taraf hidupnya melalui proses pendidikan.
Dalam kaitannya dengan hal tersebut,
melalui proses pendidikan diharapkan manusia menjadi cerdas atau memiliki
kemampuan yang biasa dikenal dengan istilah skill
dalam menjalani kehidupannya.[3] Fakta tersebut
kemudian berkembang dalam masyarakat sekarang yang akhirnya menuntut pendidikan
untuk terus melakukan pembenahan. Melalui
pembenahan tersebut akan terwujud tujuan pendidikan sebagaimana yang
diharapkan.
Dalam era otonomi pendidikan dan paradimgma
baru pendidikan mengantarkan lembaga pendidikan pada arah baru dengan perubahan
pada fenomena penataan kembali sistem pendidikan nasional yang sentralistik
menuju pada suatu sistem yang memberikan kesempatan luas kepada inisiatif masyarakat setempat bahkan
pengelolaan pendidikan yang semula
berpusat pada pemerintahan pusat mulai dari yang bersifat mikro, messo, maupu
makro beralih pada pengelolaan pendidikan pada pola manajemen lembaga
pendidikan dimana lembaga pendidikan tersebut berada yang lebih dikenal dengan
istilah otonomi daerah.[4]
Dalam era reformasi dewasa ini,
diberlakukan kebijakan otonomi daerah yang seluas-luasnya dalam bingkai Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Otonomi daerah merupakan distribusi
kekuasaan secara vertikal. Distribusi kekuasan itu dari pemerintah pusat ke
daerah, termasuk kekuasaan dalam bidang pendidikan. Dalam pelaksanaan otonomi
daerah di bidang pendidikan tampak masih menghadapi berbagai masalah. Masalah
itu di antaranya tampak pada kebijakan pendidikan yang tidak sejalan dengan
prinsip otonomi daerah dan masalah kurangnya koordinasi dan sinkronisasi.
Kondisi yang demikian dapat menghadirkan beberapa hal, seperti: kesulitan
pemerintah pusat untuk mengendalikan pendidikan di daerah; daerah tidak dapat
mengembangkan pendidikan yang sesuai dengan potensinya. Apabila hal ini
dibiarkan berbagai akibat yang tidak diinginkan bisa muncul. Misalnya, kembali
pada kebijakan pendidikan yang sentralistis, tetapi sangat dimungkinkan juga
daerah membuat kebijakan pendidikan yang dianggapnya paling tepat meskipun
sebenarnya berseberangan dengan kebijakan pusat.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di
atas maka yang menjadi pokok permasalahan untuk dijadikan kajian utama dalam
makalah ini adalah bagaimana problematikan sentralisasi dan desentralisasi
pendidikan? Untuk mengkaji pokok
permasalahan tersebut maka penulis merinci ke
dalam beberapa submasalah yaitu:
1. Bagaimana
konsep dasar tentang sentralisasi dan desentralisasi pendidikan?
2. Bagaimana
dampak sentralisasi dan desentralisasi pendidikan ?
II. PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar tentang Sentralisasi dan Desentralisasi
Pendidikan
1.
Pengertian Sentralisasi pendidikan
Sebelum penulis membahas lebih jauh tentang
sentralisasi pendidikan maka perlu terlebih dahulu dipahami pengertian
sentralisasi itu sendiri. Sentralisasi adalah seluruh wewenang terpusat pada
pemerintah pusat. Daerah tinggal menunggu instruksi dari pusat untuk
melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah digariskan menurut Undang-Undang.
Menurut ekonomi manajemen sentralisasi adalah memusatkan semua wewenang kepada
sejumlah kecil manager atau yang berada di suatu puncak pada sebuah struktur
organisasi.
Selanjutnya pengertian tentang istilah
pendidikan. Hampir setiap manusia pernah mengalami pendidikan, tetapi tidak
setiap orang mengerti makna pendidikan, pendidik, dan mendidik. Untuk memahami
pendidikan, ada dua istilah yang dapat mengarahkan pada pemahaman hakikat
pendidikan, yakni kata paedagogie dan
paedagogiek. Paedagogie bermakna
pendidikan, sedangkan paedagogiek
berarti ilmu pendidikan.[5]
Secara estimologik, perkataan paedagogie
berasal dari bahasa Yunani, yaitu paedagogia
yang berarti pergaulan dengan anak. Paidagogos
adalah hamba atau orang yang pekerjaannya menmgantar dan mengambil
budak-budak pulang pergi atau antar jemput sekolah. Perkataan “paida” merujuk kepada kanak-kanak yang
menjadikan sebab mengapa sebagian orang cenderung mmembedakan antara pedagogi
(mengajar kanak-kanak) dan andragogi (mengajar orang dewasa)[6]
Pendidikan bukan hanya kegiatan
mentransfer ilmu, teori dan fakta-fakta akademik semata; atau bukan sekedar
urusan ujian, penetapan kriteria kelulusan serta pencetakan ijazah semata.
Pendidikan pada hakekatnya merupakan proses pembebasan peserta didik dari
ketidaktahuan, ketidakberdayaan, ketidakbenaran, ketidakjujuran, dan dari
buruknya akhlak, hati, dan keimanan.
Oleh karena itu, pendidikan tidak boleh
menjadikan manusia asing terhadap dirinya dan asing terhadap hati nuraninya.
Pendidikan tidak boleh melahirkan sikap, pemikiran, dan perilaku semu.
Pendidikan tidak boleh menjadikan manusia berada di luar dirinya.[7]
Pendidikan yang sifatnya sentralisasi
akan mendekatkan peserta didik asing bagi dirinya dan hati nuraninya. Hal
tersebut disebabkan karena peranan guru yang seharusnya dilaksanakannya tetapi
diambil alih oleh pusat. Misalnya mengenai penentuan kurikulum sendiri di
daerah masing-masing, tetapi dalam sentralisasi dialihkan semuanya ke pusat
untuk mengaturnya. Inilah yang menyebabkan keasingan peserta didik terhadap
dirinya.
Oleh karena itu, maka perlu
diwujudkannya desentralisasi pendidikan sehingga kewenangan pusat bisa
didelegasikan kepada daerah untuk mengurusnya sendiri sesui dengan kondisinya.
Hanya saja tidak berarti bahwa pemberian kewenangan itu adalah kemenangan bagi
daerah untuk mandiri secara total tanpa memperhatikan instruksi yang bersifat
koordinatif dari pusat.
Dengan perkataan lain apabila kebijakan
pendidikan dalam konteks otonomi daerah tidak dilakukan upaya sinkronisasi dan
koordinasi dengan baik, tidak mustahil otonomi tersebut dapat mengarah pada
disintegrasi bangsa. Dalam kondisi demikian diperlukan cara bagaimana agar
kebijakan pendidikan di daerah dengan pusat ada sinkronisasi dan koordinasi.
Juga perlu diusahakan secara sistematis untuk membina generasi muda untuk tetap
memiliki komitmen yang kuat dibawah naungan NKRI.
2. Pengertian desentralisasi pendidikan
Desentralisasi di Indonesia sudah ada
cukup lama, dimulai sejak tahun 1973, yaitu sejak diterbitkannya UU Nomor
5 Tahun 1973 tentang pokok-pokok
pemerintahan daerah otonomi dan pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang
menjadi tugas pusat dan daerah. Dan terdapat pula pada PP No. 45 tahun 1992 dan
dikuatkan lagi melalui PP Nomor
8 Tahun 1995. Menurut
UU Nomor 22, desentralisasi dikonsepsikan
sebagai penyerahan wewenang yang disertai tanggung jawab pemerintah oleh
pemerintah pusat kepada daerah otonom. Adapun pengertian desentralisasi
pendidikan ialah suatu pelimpahan kewenangan
kepada lembaga pendidikan dalam me-manage
seluruh komponen pendidikannya sendiri.[8]
Beberapa
alasan yang mendasari perlunya desentralisasi :
1. Mendorong
terjadinya partisipasi dari bawah secara lebih luas. Mengakomodasi
terwujudnya prinsip demokrasi.
2. Mengurangi
biaya akibat alur birokrasi yang panjang sehinmgga dapat meningkatkan
efisiensi.
3. Memberi
peluang untuk memanfaatkan potensi daerah secara optimal.
4. Mengakomodasi
kepentingan poloitik.
5. Mendorong
peningkatan kualitas produk yang lebih kompetitif.
Desentralisasi Community Based Education mengisyaratkan terjadinya perubahan
kewenangan dalam pemerintah antara lain:
1. Perubahan
berkaitan dengan urusan yang tidak diatur oleh pemerintah pusat, secara
otomatis menjadi tangung jawab pemerintah daerah, termasuk dalam pengelolaan
pendidikan.
2. Perubahan
berkenaan dengan desentralisasi pengelolaan pendidikan.dalam hal ini pelempahan
wewenang dalam pengelolaan pendidikandan pemerintah pusat kedaerah otonom, yang
menempatkan kabupaten / kota sebagai sentra desentralisasi.
Desentralisasi
merupakan kebijakan pemberian kewenangan kepada daerah untuk melaksanakan dan
mengurusi keperluan dirinya sendiri. Desentralisasi pendidikan di Indonesia
setelah otonomi daerah memberi peluang untuk lebih cepat mengambil keputusan,
meningkatkan partisipasi pelaksanaan pendidikan dan mengoptimalkan pendayagunaan sumber
daya pendidikan untuk memberdayakan masyarakat. Hal ini merupakan alasan
krusial desentralisasi yang diprediksi memberikan manfaat bagi pengembangan
sekolah.[9]
Desentralisasi
adalah
pendelegasian wewenang dalam membuat keputusan dan kebijakan kepada orang-orang
pada level bawah ( daerah ). Pada sistem pendidikan yang terbaru tidak lagi
menerapkan sistem pendidikan sentralisasi, melainkan sistem otonomi daerah atau
otoda yang memberikan wewenang kepada
pemerintah daerah untuk mengambil kebijakan yang tadinya diputuskan seluruhnya
oleh pemerintah pusat. Kelebihan sistem ini adalah sebagian keputusan dan
kebijakan yang ada di daerah dapat diputuskan di daerah tanpa campur tangan
pemerintah pusat. Namun kekurangan dari sistem ini adalah pada daerah khusus,
euforia yang berlebihan dimana wewenang itu hanya menguntungkan pihak tertentu
atau golongan serta dipergunakan untuk mengeruk keuntungan para oknum atau
pribadi.
Hal ini terjadi karena sulit dikontrol
oleh pemerinah pusat. Desentralisasi pendidikan suatu keharusan rontoknya nilai-nilai
otokrasi Orde Baru telah melahirkan suatu visi yang baru mengenai kehidupan
masyarakat yang lebih sejahtera ialah
pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia, hak politik, dan hak asasi masyarakat
(civil rights). Kita ingin membangun
suatu masyarakat baru yaitu masyarakat demokrasi yang mengakui akan kebebasan
individu yang bertanggung jawab.
Pada masa orde baru hak-hak tersebut dirampas oleh pemerintah.
Keadaan ini telah melahirkan suatu
pemerintah yang tersebut dan otoriter sehingga tidak mengakui akan hak-hak
daerah. Kekayaan nasional, kekayaan daerah telah dieksploitasi untuk
kepentingan segelintir elite politik. Kejadian yang terjadi berpuluh tahun
telah melahirkan suatu rasa curiga dan sikap tidak percaya kepada pemerintah.
Lahirlah gerakan separatisme yang ingin memisahkan diri dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, desentralisasi atau
otonomi daerah merupakan salah satu tuntutan era reformasi. Termasuk di dalam
tuntutan otonomi daerah ialah desentralisasi pendidikan nasional. Ada tiga hal
yang berkaitan dengan urgensi desentralisasi pendidikan yaitu pembangunan
masyarakat demokrasi, pengembangan sosial capital, dan peningkatan daya saing
bangsa.
Desentralisasi pendidikan merupakan
salah satu model pengelolaan pendidikan yang menjadikan sekolah sebagai proses
pengambilan keputusan dan merupakan salah satu upaya untuk memperbaiki kualitas
pendidikan serta sumber daya manusia termasuk profesionalitas guru yang
belakangan ini dirisaukan oleh berbagai pihak baik secara regional maupun
secara internasional.[10]
Sistem pendidikan yang selama ini dikelola dalam suatu iklim birokratik dan
sentralistik dianggap sebagai salah satu sebab yang telah membuahkan
keterpurukan dalam mutu dan keunggulan pendidikan di tanah air kita. Hal ini
beralasan, karena sistem birokrasi selalu menempatkan “kekuasaan” sebagai
faktor yang paling menentukan dalam proses pengambilan keputusan.
Sekolah-sekolah saat ini telah terkungkung oleh kekuasaan birokrasi sejak
kekuasaan tingkat pusat hingga daerah bahkan terkesan semakin buruk dalam era
reformasi saat ini. Ironisnya, kepala sekolah dan guru-guru sebagai pihak
yang paling memahami realitas pendidikan berada pada tempat yang
“dikendalikan”. Merekalah seharusnya yang paling berperan sebagai pengambil
keputusan dalam mengatasi berbagai persoalan sehari-hari yang menghadang
upaya peningkatan mutu pendidikan. Namun, mereka ada dalam posisi tidak berdaya
dan tertekan oleh berbagai pembakuan dalam bentuk juklak dan juknis yang
“pasti” tidak sesuai dengan kenyataan obyektif di masing-masing sekolah.
Disamping itu pula, kekuasaan birokrasi
juga yang menjadi faktor sebab dari menurunnya semangat partisipasi masyarakat
terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Dulu, sekolah sepenuhnya
dimiliki oleh masyarakat, dan merekalah yang membangun dan memelihara sekolah,
mengadakan sarana pendidikan, serta iuran untuk mengadakan biaya operasional
sekolah. Jika sekolah telah mereka bangun, masyarakat hanya meminta guru-guru
kepada pemerintah untuk diangkat pada sekolah mereka itu. Pada waktu itu, kita
sebenarnya telah mencapai pembangunan pendidikan yang berkelanjutan (sustainable
development), karena sekolah adalah sepenuhnya milik masyarakat yang
senantiasa bertanggungjawab dalam pemeliharan serta operasional pendidikan
sehari-hari. Pada waktu itu, Pemerintah berfungsi sebagai penyeimbang, melalui
pemberian subsidi bantuan bagi sekolah-sekolah pada masyarakat yang benar-benar
kurang mampu.[11]
Pemerintah telah mengambil alih
“kepemilikan” sekolah yang sebelumnya milik masyarakat menjadi milik pemerintah
dan dikelola sepenuhnya secara birokratik bahkan sentralistik. Sejak itu,
secara perlahan “rasa memiliki” dari masyarakat terhadap sekolah menjadi pudar
bahkan akhirnya menghilang. Peran masyarakat yang sebelumnya
“bertanggungjawab”, mulai berubah menjadi hanya “berpartisipasi” terhadap
pendidikan, selanjutnya, masyarakat bahkan menjadi “asing” terhadap sekolah.
Semua sumberdaya pendidikan ditanggung oleh pemerintah, dan seolah tidak ada
alasan bagi masyarakat untuk ikut serta berpartisipasi apalagi bertanggungjawab
terhadap penyelengaraan pendidikan di sekolah.
Berdasarkan pengalaman empiris
tersebut, maka kemandirian setiap satuan pendidikan sudah menjadi satu
keharusan dan merupakan salah satu sasaran dari kebijakan desentralisasi
pendidikan saat ini. Sekolah-sekolah sudah seharusnya menjadi lembaga yang
otonom dengan sendirinya, meskipun pergeseran menuju sekolah-sekolah yang
otonom adalah jalan panjang sehingga memerlukan berbagai kajian serta
perencanaan yang hati-hati dan mendalam. Jalan panjang ini tidak selalu mulus,
tetapi akan menempuh jalan terjal yang penuh dengan onak dan duri. Orang bisa
saja mengatakan bahwa paradigma baru untuk mewujudkan pengelolaan pendidikan
yang demokratis dan partisipatif, tidak dapat dilaksanakan di dalam suatu
lingkungan birokrasi yang tidak demokratis. Namun, pengembangan demokratisasi
pendidikan tidak harus menunggu birokrasinya menjadi demokratis dulu, tetapi
harus dilakukan secara simultan dengan konsep yang jelas dan transparans.
Selanjutnya desentralisasi pendidikan
memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah maupun sekolah untuk mengambil
keputusan terbaik tentang penyelenggaraan pendidikan di daerah atau sekolah
yang bersangkutan berdasarkan potensi daerah dan stakeholders sekolah.
Olah karenanya, desentralisasi pendidikan disamping diakui sebagai kebijakan
politis yang berkaitan dengan pendidikan, juga merupakan kebijakan yang berkait
dengan banyak hal. Paqueo dan Lammaert menunjukkan alasan-alasan desentralisasi
penyelenggaraan pendidikan yang sangat cocok untuk kondisi Indonesia, yaitu;
(1) kemampuan daerah dalam membiaya pendidikan, (2) peningkatan efektivitas dan
efesiensi penyelenggaraan pendidikan dari masing-masing daerah, (3)
redistribusi kekuatan politik, (4) peningkatan kualitas pendidikan, (5)
peningkatan inovasi dalam rangka pemuasan harapan seluruh warga negara.[12]
Sesuai dengan tuntutan reformasi dan
demokratisasi di bidang pendidikan, pengelolaan pendidikan di Indonesia tidak
dapat dilepaskan dari keinginan dan tujuan bangsa Indonesia dalam
penyelenggaran pendidikan itu sendiri. Sebagai contoh dalam pendidikan dasar,
propenas menyebutkan kegiatan pokok dalam upaya memperbaiki manajemen
pendidikan dasar di Indonesia adalah:
1.
Melaksanakan
desentralisasi bidang pendidikan secara bertahap, bijaksana dan profesional,
termasuk peningkatan peranan stakeholders sekolah;
2. Mengembangkan
pola penyelenggaraan pendidikan secara desentralisasi untuk meningkatkan
efesiensi pemanfaatan sumber daya pendidikan dengan memperhatikan kondisi dan
kebutuhan masyarakat setempat;
3. Meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, seperti diversifikasi
penggunaan sumber daya dan dana;
4. Mengembangkan
sistem insentif yang mendorong terjadinya kompetensi yang sehat baik antara
lembaga dan personil sekolah untuk pencapaian tujuan pendidikan
5. Memberdayakan
personil dan lembaga, antara lain melalui pelatihan yang dilaksanakan oleh
lembaga profesional.
6. Meninjau
kembali semua produk hukum di bidang pendidikan yang tidak sesuai lagi dengan
arah dan tuntutan pembangunan pendidikan; dan
7. Merintis
pembentukan badan akreditasi dan sertifikasi mengajar di daerah untuk
meningkatkan kualitas tenaga kependidikan secara independen.[13]
Atas dasar amanat seperti yang
dirumuskan dalam propenas di atas, maka sangat jelas bahwa tekad bangsa
Indonesia untuk mewujudkan sistem pendidikan secara desentralistik terkesan
sangat kuat. Dengan sistem ini pendidikan dapat dilaksanakan lebih sesuai
dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat, di mana proses pengambilan keputusan
dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang paling dekat dengan proses pembelajaran
(kepala sekolah, guru, dan orang tua peserta didik). Adanya otonomisasi daerah
yang sekaligus disertai dengan otonomi penyelenggaraan pendidikan atau
desentralisasi pendidikan, hendaknya dapat mencapai sasaran utama progam
restrukturisasi sistem dan manajemen pendidikan di Indonesia. Restrukturisasi
dimaksud antara lain mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Struktur
organisasi pendidikan hendaknya terbuka dan dinamis, mencerminkan
desentralisasi dan pemberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.
2. Sarana
pendidikan dan fasilitas pembelajaran dibakukan berdasarkan prinsip edukatif
sehingga lembaga pendidikan merupakan tempat yang menyenangkan untuk belajar,
berprestasi, berkreasi, berkomunikasi, berolah raga serta menjalankan syariat
agama.
3. Tenaga
kependidikan, terutama tenaga pengajar harus benar-benar profesional dan diikat
oleh sistem kontrak kinerja.
4. Struktur
kurikulum pendidikan hendaknya mengacu pada penerapan sistem pembelajaran
tuntas, tidak terikat pada penyelesaian target kurikulum secara seragam per
catur wulan dan tahun pelajaran.
5. Proses
pembelajaran tuntas diterapkan dengan berbagai modus pendekatan pembelajaran,
peserta didik aktif sesuai dengan tingkat kesulitan konsep-konsep dasar yang
dipelajari.
6. Sistem
penilaian hasil belajar secara berkelanjutan perlu diterapkan di setiap lembaga
pendidikan sebagai konsekuensi dari pelaksanaan pembelajaran tuntas.
7. Dilakukan
supervisi dan akreditasi. Supervisi dan pembinaan administrasi akdemik
dilakukan oleh unsur manajemen tingkat pusat dan provinsi yang bertujuan untuk
mengendalikan mutu (quality control). Sedangkan akreditasi dilakukan
untuk menjamin mutu quality assurance) pelayanan kelembagaan.
8. Pendidikan
berbasis masyarakat seperti pondok pesantren, kursus-kursus keterampilan,
pemagangan di tempat kerja dalam rangka pendidikan sistem ganda harus menjadi
bagian dari sistem pendidikan nasional.
9. Formula
pembiayaan pendidikan atau unit cost dan subsidi pendidikan harus didasarkan
pada bobot beban penyelenggaraan pendidikan yang memperhatikan jumlah peserta
didik, kesulitan komunikasi, tingkat kesejahteraan masyarakat dan tingkat
partisipasi pendidikan serta kontribusi masyarakat terhadap pendidikan pada
setiap sekolah.[14]
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas,
maka dapat dipahami bahwa desentralisasi
pendidikan pada hakekatnya berkorelasi positif terhadap peningkatan mutu
lulusan lembaga pendidikan dan efesiensi pengelolaan pendidikan. Apabila
sekolah dapat dikelola dengan optimal oleh personalia yang profesional,
pengambilan keputusan dilakukan oleh pihak-pihak yang lebih dekat dan tahu
tentang kebutuhan dan potensi sekolah, maka mutu pendidikan akan semakin
menunjukan pada tingkat maksimal sesuai yang diharapkan.
B.
Dampak Sentralisasi dan Desentralisasi
Pendidikan
1.
Dampak negatif
sentralisasi pendidikan
Indonesia sebagai negara berkembang
dengan berbagai kesamaan ciri sosial budayanya, juga mengikuti sistem
sentralistik yang telah lama dikembangkan pada negara berkembang.
Konsekuensinya penyelenggaraan pendidikan di Indonesia serba seragam, serba
keputusan dari atas, seperti kurikulum yang seragam tanpa melihat tingkat
relevansinya baik kehidupan anak dan lingkungannya.
Konsekuensinya, posisi
dan peran peserta didik cenderung dijadikan sebagai objek agar yang memiliki
peluang untuk mengembangkan kreativitas
dan minatnya sesuai dengan talenta yang dimilikinya. Dengan adanya sentralisasi
pendidikan telah melahirkan berbagai fenomena yang memprihatinkan
seperti :
1.
Totaliterisme
penyelenggaraan pendidikan.
2.
Keseragaman
manajemen, sejak dalam aspek perencanaan, pengelolaan, evaluasi, hingga model
pengembangan sekolah dan pembelajaran.
3.
Keseragaman pola
pembudayaan masyarakat.
4.
Melemahnya kebudayaan
daerah.
5.
Kualitas manusia yang
robotik, tanpa inisiatif dan kreativitas.
Dengan demikian, sebagai dampak sistem
pendidikan sentralistik, maka upaya mewujudkan pendidikan yang dapat melahirkan
sosok manusia yang memiliki kebebasan berpikir, mampu memecahkan masalah secara
mandiri, bekerja dan hidup dalam kelompok kreatif penuh inisiatif dan impati,
memeliki keterampilan interpersonal yang memadai sebagai bekal masyarakat
menjadi sangat sulit untuk diwujudkan.
2. Dampak Positif Desentralisasi Pendidikan
Dari beberapa pengalaman di negara lain,
kegagalan desentralisasi diakibatkan oleh beberapa hal :
1.
Masa transisi dari
sistem sentralisasi ke desintralisasi ke memungkinkan terjadinya perubahan
secara gradual dan tidak memadai serta jadwal pelaksanaan yang tergesa-gesa.
2.
Kurang jelasnya
pembatasan rinci kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi
dan daerah.
3.
Kemampuan keuangan
daerah yang terbatas.
4.
Sumber daya manusia
yang belum memadai.
5.
Kapasitas manajemen
daerah yang belum memadai.
6.
Restrukturisasi
kelembagaan daerah yang belum matang.
7.
Pemerintah pusat
secara psikologis kurang siap untuk kehiulangan otoritasnya.
Berdasarkan pengalaman, pelaksanaan desentralisasi
yang tidak matang juga melahirkan berbagai persoalan baru, diantaranya :
1.
Meningkatnya
kesenjangan anggaran pendidikan antara daerah, antar sekolah, antar individu
warga masyarakat.
2.
Keterbatasan
kemampuan keuangan daerah dan masyarakat (orang tua) menjadikan jumlah anggaran
belanja sekolah akan menurun dari waktu sebelumnya, sehingga akan menurunkan
motivasi dan kreativitas tenaga kependidikan di sekolah untuk melakukan
pembaruan.
3.
Biaya administrasi di
sekolah meningkat karena prioritas anggaran di
alokasikan untuk menutup biaya administrasi, dan sisanya baru di distribusikan ke sekolah.
4.
Kebijakan
pemerintah daerah yang tidak memperioritaskan pendidikan, secara kumulatif
berpotensi akan menurunkan pendidikan.
5.
Penggunaan
otoritas masyarakat yang belum tentu memahami sepenuhnya permasalahan dan
pengelolaan pendidikan yang pada akhirnya akan menurunkan mutu pendidikan.
6.
Kesenjangan sumber
daya pendidikan yang tajam di karenakan perbedaan potensi daerah yang
berbeda-beda. Mengakibatkan kesenjangan mutu pendidikan serta melahirkan
kecemburuan sosial.
7.
Terjadinya pemindahan
borok-borok pengelolaan pendidikan dari pusat ke daerah.
Untuk mengantisipasi munculnya
permasalahan tersebut di atas, disentralisasi
pendidikan dalam pelaksanaannya harus bersikap hati-hati. Ketepatan strategi
yang ditempuh sangat menentukan tingkat efektivitas
implementasi disentralisasi. Untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan buruk
tersebut ada beberapa hal yang perlu di perhatikan :
1.
Adanya jaminan dan
keyakinan bahwa pendidikan akan tetap berfungsi sebagai wahana pemersatu
bangsa.
2.
Masa transisi
benar-benar di gunakan untuk menyiapkan berbagai halyang dilakukan secara
garnual dan di jadwalkan setepat mungkin.
3.
Adanya kometmen dari
pemerintah daerah terhadappendidikan, terutama dalam pendanaan pendidikan.
4.
Adanya kesiapan
sumber daya manusia dan sistem manajemen yang tepat yang telah dipersiapkan
dengan matang oleh daerah.
5.
Pemahaman pemerintah
daerah maupun DPRD terhadap keunikan dan keberagaman sistem pengelolaan
pendidikan, dimana sistem pengelolaan pendidikan tidak sama dengan pengelolaan
pendidikan daerah lainnya.
6.
Adanya kesadaran dari semua pihak (pemerintah,
DPRD, masyarakat) bahwa pengelolaan tenaga kependidikan di sekolah, terutama
guru tidak sama dengan pengelolaan aparat birokrat lainnya.
7.
Adanya keiapan
psikologis dari pemerintah pusat dari propinsi untuk melepas kewenangannya pada
pemerintah kabupaten / kota.
Selain dampak negatif tentu saja
disentralisasi pendidikan juga telah membuktikan keberhasilan antara lain :
1.
Mampu memenuhi tujuan
politis, yaitu melaksanakan demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan.
2.
Mampu membangun partisifasi masyarakat
sehingga melahirkan pendidikan yang relevan, karena pendidikan benar-benar
dari oleh dan untuk masyarakat.
3.
Mampu menyelenggarakan pendidikan secara
menfasilitasi proses belajar mengajar yang kondusif, yang pada gilirannya akan
meningkatkan kualitas belajar peserta didik.
III. P E N U T U P
A. Kesimpulan
1. Konsep dasar sentralisasi dan
desentralisasi adalah Sentralisasi adalah seluruh wewenang
terpusat pada pemerintah pusat. Daerah tinggal menunggu instruksi dari pusat
untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah digariskan menurut
Undang-Udang.
Menurut ekonomi manajemen sentralisasi adalah memusatkan semua wewenang kepada
sejumlah kecil manager atau yang berada di suatu puncak pada sebuah struktur
organisasi. Sentralisasi banyak digunakan pemerintah sebelum otonomi daerah.
Kelemahan sistem sentralisasi adalah dimana sebuah kebijakan dan keputusan
pemerintah daerah dihasilkan oleh orang-orang yang berada di pemerintah pusat
sehingga waktu untuk memutuskan suatu hal menjadi lebih lama.
2. Sebagai dampak sistem pendidikan sentralistik, maka upaya mewujudkan
pendidikan yang dapat melahirkan sosok manusia yang memiliki kebebasan
berpikir, mampu memecahkan masalah secara mandiri, bekerja dan hidup dalam
kelompok kreatif penuh inisiatif dan impati, memeliki keterampilan
interpersonal yang memadai sebagai bekal masyarakat menjadi sangat sulit untuk
diwujudkan.
B.
Implikasi
Pendidikan yang bermutu sebagai harapan
bangsa Indonesia tidak mungkin akan tercapai secara maksimal jika sistem
sentralisasi tidak berubah menjadi desentralisasi. Desentralisasi yang
dimaksudkan adalah pelimpahan wewenang dari pusat ke daerah sesuai porsinya.
Kemudian pelimpahan itu tidak lagi dicampuri oleh pihak pusat dengan berbagai
dalih yang berujung pada politisasi pendidikan. Sebab politisasi pendidikan
inilah yang akan membawa pada kehancuran pendidikan bangsa Indonesia. Tetapi
tidak berarti pendidikan tidak boleh disentuh politik, namun sentuhan itu
seharusnya untuk memajukan pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Farodis, Zian. Panduan Manajemen Pendidikan. Yogyakarta: Diva Press, 2011.
Hadiyanto. Mencari Sosok Desentralisasi Manajemen
Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, 2004
http://www.tutorialto.com/pendidikan/864-jumlah-penduduk-indonesia-2012.html. diakses tanggal 30 April 2013.
Ilyasin,
Mukhamad dan Nanik Nurhayati. Manajemen
Pendidikan. Cet. 1; Yogyakarta: Aditya Media Publishing, 2012.
Komite
Reformasi Pendidikan. Naskah Akademik
Rancangan Undang-Undang Nasional. Jakarta: Balitbang Depdiknas, 2001.
Makawimbang,
Jerry H.. Supervisi dan Peningkatan Mutu Pendidikan. Bandung: Alfabeta, 2011.
Mulyasa, Dedy. Pendidikan Bermutu dan Berdaya Saing. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011
Musa,
I.. Otonomi Penyelenggaraan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jurnal Pendidikan
Volume 2 No. 2 September 2001.
Paqueo,
V. dan J. Lammert. Decentralization in Education. New York:
Education Reform dan Management Thematic Goup, 2000.
Purwanto, M. Ngalim. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Cet.
I; Bandung: Remaja Rosda Karya, 2010.
Sukarjo M.. Landasan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya. Jakarta: Rajawali Pers,
2010.
Suryadi,
Ace. Mewujudkan Sekolah-sekolah yang
Mandiri dan Otonom, disampaikan
pada Sosialisasi Pemberdayaan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah Juni 2003.
Syafaruddin. Efektivitas Kebijakan Pendidikan. Cet. 1; Jakarta: Rineka Cipta,
2008.
Zambroni. Dinamika Peningkatan Mutu. Yogyakarta: Gavin Kalam Utama, 2011.
Desentralisasi merupakan kebijakan pemberian
kewenangan kepada daerah untuk melaksanakan dan mengurusi keperluan dirinya
sendiri. Desentralisasi pendidikan di Indonesia setelah otonomi daerah mmemberi
peluang untuk lebih cepat mengambil keputusan, meningkatkan partisipasi pelaksanaan pendidikan dan mengoptimalkan
pendayagunaan sumber daya pendidikan untuk memberdayakan
masyarakat. Hal ini merupakan alasan krusial desentralisasi yang diprediksi
memberikan manfaat bagi pengembangan sekolah.
Berdasarkan pengalaman, pelaksanaan
desentralisasi yang tidak matang juga melahirkan berbagai persoalan baru,
diantaranya :
1.
Meningkatnya
kesenjangan anggaran pendidikan antara daerah, antar sekolah, antar individu
warga masyarakat.
2.
Keterbatasan
kemampuan keuangan daerah dan masyarakat (orang tua) menjadikan jumlah anggaran
belanja sekolah akan menurundari waktu sebelumnya,sehingga akan menurunkan
motivasi dan kreatifitas tenaga kependidikan di sekolahuntuk melakukan
pembaruan.
3.
Biaya administrasi
di sekolah meningkat karena prioritas anggarandi alokasikan untuk menutup biaya
administrasi, dan sisanya baru didistribusikan ke sekolah.
4.
Kebijakan
pemerintah daerah yang tidak memperioritaskan pendidikan, secara kumulatif
berpotendsi akan menurunkan pendidikan.
5.
Penggunaan otoritas
masyarakat yang belum tentu memahamisepenuhnya permasalahandan pengelolaan
pendidikan yang pada akhirnya akan menurunkan mutu pendidikan.
6.
Kesenjangan sumber
daya pendidikan yang tajam di karenakan perbedaan potensi daerah yang
berbeda-beda. Mengakibatkan kesenjangan mutu pendidikan serta melahirkan
kecemburuan sosial.
7.
Terjadinya
pemindahan borok-borok pengelolaan pendidikan dari pusat ke daerah.
[1]Zambroni, Dinamika Peningkatan Mutu (Yogyakarta: Gavin Kalam Utama, 2011), h.
83.
[2]Zian Farodis, Panduan Manajemen Pendidikan (Yogyakarta:
Diva Press, 2011), h. 7.
[3]Jeery H. Makawimbang, Supervisi dan Peningkatan Mutu Pendidikan (Bandung:
Alfabeta, 2011), h. 1.
[4]Mukhamad Ilyasin dan Nanik
Nurhayati, Manajemen Pendidikan (Cet.
1; Yogyakarta: Aditya Media Publishing, 2012), h. 7.
[5]M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis (Cet.
I; Bandung: Remaja Rosda Karya, 2010), h.3.
[7]Dedy Mulyasa, Pendidikan Bermutu dan Berdaya Saing
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), h. 2-3.
[9]Syafaruddin, Efektivitas Kebijakan Pendidikan (Cet. 1; Jakarta: Rineka Cipta, 2008), h. 70.
[10]Hadiyanto, Mencari Sosok
Desentralisasi Manajemen Pendidikan di Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), h. 63.
[11]Ace Suryadi, Mewujudkan
Sekolah-sekolah Yang Mandiri dan Otonom, disampaikan pada Sosialisasi
Pemberdayaan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah Juni 2003.
[12] V. Paqueo dan J. Lammert, Decentarlization
in Education ( New York: Education Reform dan Management Thematic Goup,
2000), h. 23.
[13]Komite Reformasi Pendidikan, Naskah
Akademik Rancangan Undang-Undang Nasional (Jakarta: Balitbang Depdiknas,
2001), h. 154.
[14] I. Musa, Otonomi Penyelenggaraan
Pendidikan Dasar dan Menengah. Jurnal Pendidikan Volume 2 Nomor 2 September 2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar